Berlindung dari Sifat Kikir
Bukan maksud untuk menggurui, cuma sekedar berbagi,
Kemarin, tepatnya tanggal 07 November 2013. Saya mendapatkan e-mail masuk dari saudara yang berisikan renungan kalbu. Setelah dibaca dan dicermati, cerita ini sering dijumpai dalam keseharian kita. Dari pada saya lama berbicara, mending langsung saja dibaca kisahnya,
Rasulullah
selalu memohon kepada Allah agar terlindung dari sifat pengecut dan
kikir. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan
kikir…!” Itulah kalimat yang terucap oleh Rasulullah Saw dalam doanya
kepada Allah Ta’ala. (HR. Bukhari & Muslim)
Seseorang yang
sadar dan membutuhkan rahmat Tuhannya, akan senantiasa berlindung dari
sifat kikir. Sebab sifat tersebut amat merugikan bahkan membinasakan
manusia.
Sedikitnya ada tiga kerugian yang akan dialami manusia
saat dirinya dikuasai sifat kikir atau pelit, dan hal itu tidak
memberikan keuntungan sedikitpun baginya.
Pertama, ia akan jauh dari Allah Swt, yang berarti tidak akan mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya.
Kedua, ia akan jauh dari manusia, sebab tidak seorang pun yang suka bergaul dengan manusia kikir.
Ketiga, berpeluang masuk ke dalam neraka, sebab hidupnya tiada lagi berarti.
Di mata Allah Swt ia hina dan bagi manusia ia dianggap sebagai lawan. (Al hadits)
Inilah sebuah kisah dari negeri antah berantah, menggambarkan bagaimana seorang yang bersifat kikir akan dibenci manusia.
Pagi itu istana raja digemparkan oleh sebuah masalah. Masalah yang amat memalukan dan membuat muak banyak manusia.
Diawali dengan kedatangan seorang pria. Pria ini terkenal dengan
sifatnya yang amat kikir lagi tamak. Ia datang pagi-pagi sekali untuk
mengadukan sebuah masalah.
“Paduka raja…, aku datang hendak
mengadukan sesuatu padamu. Sebagai pimpinan negeri, kiranya kau berhak
memutuskan dengan adil!” Pria kikir itu memulai pembicaraan.
“Silahkan utarakan apa yang kau inginkan, wahai pria!” sambut raja dengan suara berwibawa.
“Saya adalah seorang yang hidup berkecukupan. Aku mulai hidup dari
ketiadaan. Sebab aku berjuang keras, maka akhirnya aku pun banyak
memiliki harta. Sebagaimana paduka tahu bahwa tidak mudah untuk hidup
sebagai manusia. Segalanya harus dengan biaya dan ada harganya.” Pria
kikir itu mengutarakan.
“Teruskan….!” Paduka mempersilakan.
Aku memiliki tetangga yang tinggal di sebelah rumah. Mereka adalah dua
anak yatim yang telah lama ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Sejak orang tua mereka meninggal, tiada seorang pun yang berkenan
menjamin hidup mereka. Hingga badan mereka kurus kering bagai tulang
berbalut kulit saja.” kata pria itu lagi
Dua bulan terakhir,
aku dapati tubuh mereka bertambah gemuk. Aku coba menyelidiki. Tiada hal
yang pasti mereka makan setiap hari. Aku pun berkesimpulan bahwa mereka
menjadi gemuk sebab mencium aroma masakan dari rumahku.
Menurutku, ini adalah sebuah bentuk pencurian. Kalau saja, tidak ada
aroma masakan dari rumahku, tentulah badan mereka tidak menjadi gemuk”
imbuhnya.
Paduka raja mengernyitkan mata tanda mencibir. Beliau
dan seluruh orang yang mendengarkan penuturan pria kikir ini menjadi
muak. Namun paduka raja mencoba untuk menguasai diri.
Ia bertanya, “Lalu apa yang hendak engkau sampaikan…?!”
“Aku hendak meminta ganti rugi sebesar 1.000 dinar kepada dua anak
yatim itu, wahai paduka raja! Atau jika mereka tak mampu, keduanya akan
aku jadikan budak dan kemudian aku jual di pasar!” Pria kikir itu
berkata lantang tanpa surut.
Paduka raja bingung menyikapi hal
ini. Ia meminta pendapat seluruh menteri yang ada untuk memberikan
masukan atas keputusan yang akan ia buat. Namun, semua menteri terdiam.
Mereka juga bingung dan tak memiliki sikap atas kasus ini.
Sungguh, mereka semua merasa benci terhadap pria kikir ini. Namun,
mereka sendiri tidak mengerti hendak berkata apa? Semua berdiam diri tak
bergeming, hingga terdengarlah suara seorang pria yang tiada lain
adalah seorang penjaga istana.
“Paduka…, izinkan saya untuk berbicara memberi pendapat!” kata penjaga istana. “Silahkan saja…!” raja menukas.
“Menurutku, pria yang mengadukan masalahnya ini adalah benar adanya. Ia
berhak menuntut ganti rugi sebesar 1.000 dinar tersebut dari kedua anak
yatim yang ia ceritakan.
Bila keduanya tidak mau dijadikan budak
kemudian dijual oleh pria ini, maka kiranya paduka raja berkenan untuk
meminjamkannya terlebih dahulu dan izinkan aku untuk melakukan
pembayaran.” pria itu menjelaskan.
Paduka raja masih belum mengerti maksud penjaga istananya.
Semburat kebingungan terbias dari raut wajah beliau. Namun, beliau
terpaksa mengiyakan pendapat penjaga istana saat beliau melihat
kerlingan mata darinya tanda ada sebuah konspirasi yang hendak dibangun.
Paduka raja kemudian berkata, “Baiklah, aku akan pinjamkan uang
sebanyak 1.000 dinar itu pada kedua anak yatim tersebut.” Alangkah
gembiranya hati si pria kikir saat mendengar bahwa gugatannya
dimenangkan. Terbayang dibenaknya bahwa sebentar lagi ia akan menerima
uang sebanyak itu.
“Izinkan aku untuk menghadirkan kedua anak yatim itu, wahai paduka!” penjaga istana berkata sekali lagi.
Beberapa orang pengawal kemudian diperintah untuk menjemput kedua anak
yatim yang dimaksud. Sesampainya di istana maka mereka pun didudukkan di
kursi pesakitan. Warna wajah mereka memerah ketika semua orang di
istana melemparkan pandangan penuh tuduhan kepada mereka.
Ruang
di depan mahligai raja rupanya telah dibagi dua. Terpisah oleh sebuah
tabir tipis transparan yang telah disiapkan. Pria kikir di tempatkan di
sebelah kiri tabir, sementara kedua anak yatim di sebelah kanan.
Penjaga istana lalu berdiri menghampiri raja. Ia bermaksud mengambil
uang pinjaman sejumlah 1.000 dinar yang raja janjikan. Paduka pun lalu
memberikannya.
Penjaga istana kemudian berkata,
“Wahai
anak-anakku…., dengan kemurahan hati Paduka Raja meminjamkan uang
sebesar 1.000 dinar kepada kalian. Uang ini dipinjamkan, sebab bapak ini
mengadukan bahwa kalian telah mencuri aroma makanan yang berasal dari
rumahnya.
Karena aroma masakan itu, kalian menjadi gemuk. Ia
menuntut ganti rugi sebesar 1.000 dinar atau kalau tidak kalian akan
dijual sebagai budak!”
Kedua yatim itu terkejut mendengarnya,
namun mereka tidak bisa berkata apapun. Penjaga istana menambahkan,
“Nah… sebelum uang ini diberikan kepada bapak itu… kalian harus terlebih
dahulu menghitung uang dinar ini. Bapak yang ada di sebelah tabir pun
boleh melihat dari balik tabir dan menghitung kebenaran jumlahnya.
Sekarang…, mulailah melakukan penghitungan!” “Satu… dua… tiga… empat
puluh lima…. seratus delapan puluh satu….tujuh ratus sembilan puluh
dua…. sembilan ratus sembilan puluh sembilan…. dan seribu!” kedua anak
yatim itu merampungkan hitungan dan diikuti pria kikir di balik tabir.
Pria kikir itu tersenyum bahagia. Ia senang dan membayangkan bahwa ia akan mendapatkan uang sebanyak itu sebentar lagi.
Kemudian penjaga istana yang bertindak sebagai hakim meminta kembali
uang itu dari kedua yatim tadi. Namun setelah uang itu ia terima, ia
tidak menyerahkannya kepada pria kikir yang berdiri penuh harap.
Uang itu malah dikembalikan kepada raja, dan penjaga istana itu berkata
kepada raja, “Masalah telah selesai wahai paduka dan setiap pihak sudah
mendapatkan haknya!”
Raja tersenyum. Ia tahu bahwa penjaga istana sedang membuat trik demi mengecoh emosi pria kikir tadi.
Benar saja…., demi melihat uang dikembalikan dan mendengar apa yang
baru diucapkan oleh penjaga istana, si manusia kikir langsung berteriak,
“Wahai paduka, mana uang itu… mengapa tidak diberikan langsung
kepadaku?!”
Penjaga istana berkata dengan nada bijak, “Bukankah
engkau telah turut menghitungnya sehingga engkau merasa senang bahkan
tersenyum saat penghitungan dilakukan? Engkau telah mendapatkan hakmu
karena engkau telah merasa senang. Itu sama halnya dengan apa yang
diterima oleh kedua yatim tersebut.
Mereka menjadi gemuk sebab
mereka senang karena telah mencium aroma masakan yang berasal dari
rumahmu. Nah… sekarang pulanglah kalian semua. Masalah kalian telah kami
selesaikan!”
Semua orang yang hadir di istana baru mengerti
apa yang dimaksud penjaga istana selama ini. Sorak-sorai riuh rendah
terdengar bergemuruh dalam istana raja siang itu. Semuanya senang sebab
kekikiran telah dikalahkan.
Sementara pria kikir tadi berjalan pulang meninggalkan istana dengan penuh rasa malu dan penyesalan.
Demikianlah sekelumit hikmah yang menyatakan bahwa sifat kikir tiada memberi keuntungan apapun bagi pemiliknya.
Karenanya, mohonkanlah perlindungan kepada Allah Swt agar senantiasa diri kita dijaga dari sifat tercela ini.
Terakhir, Allah Swt berpesan untuk kita semua hamba-Nya: “Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS. At-Taghaabun, 64:16)
Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita, mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dalam penulisan. Terima kasih banyak buat saudaraku atas kiriman ini semoga menjadi manfaat buat kita semua. Amin amin ya robbal alamin..
Hidup ini indah, jika kita bisa saling berbagi. Walaupun hanya sebuah tulisan.
0 komentar:
Posting Komentar